Bike To Halimun - Pelabuhan Ratu (part 1)

Keputusan

Tak pernah ku bayangkan, aku telah melakukan perjalanan panjang menggunakan sepeda. Bukan satu hari atau 2 hari perjalanan, tetapi selama 1 minggu. Tidak hanya melewati jalan aspal yang mulus, tetapi juga melewati hutan-hutan yang jalanannya tidak rata bahkan berbatu dan sangat licin. Keputusan yang ku ambil ini terbilang sangat singkat. Tanpa pengalaman bersepeda dengan jarak tempuh yang jauh, bahkan berolahragapun jarang, aku harus menimbang-nimbang keputusan apa yang harus kuambil. Terpikirkan akan melakukan hal semacam ini pun tidak pernah, pada akhirnya aku memutuskan untuk ikut bergabung bersepeda menuju kasepuhan ciptagelar dan kemudian ke pelabuhan ratu bersama teman-temanku.

Awalnya sempat ragu apakah aku mampu melewati perjalanan ini. Melihat adik kelasku yang begitu bersemangat untuk melakukan perjalanan ini, akupun membulatkan tekadku untuk bisa melewati ini semua. “jika dia bisa, kenapa aku tidak”. Dia menjadi patokan kemampuanku karena dalam hal fisik kami tidak jauh berbeda, begitulah yang aku pikirkan. Ini merupakan salah satu keputusan yang cukup berani untuk ku ambil.

Are you ready?

Persiapan yang aku lakukan hanya sedikit, aku bahkan tidak mengecek sepeda yang akan kugunakan. Baju ganti, kaos kaki cadangan, headlamp dan baterai cadangan, sleeping bag, botol air, peralatan mandi, uang, dan makanan telah tersusun rapi didalam tas. Menurutku  itu sudah lebih dari cukup untuk kubawa. Tidak tahu apalagi yang harus dibawa karna ini pengalaman pertamaku. Dengan modal sepeda pinjaman, dan peralatan seadanya aku memulai perjalananku saat itu bersama dengan 5 orang temanku. Rencana awal kami akan berangkat pagi hari, karena sepeda salah satu temanku mengalami kendala dan harus diperbaiki, maka, mau dan tidak mau waktu yang kami rencanakan menjadi mundur.

Aku, cita, aria, faisal, embang, dan nurmadiah, kami berenam memulai perjalanan dihari sabtu selepas dzuhur dengan berdoa. Perjalanan hari pertama disambut oleh hujan. Kupikir saat hari hujan kami akan berteduh. Ternyata tidak, saat hujan turunpun kami tetap melanjutkan perjalanan bahkan aku tidak diizinkan untuk memakai ponco, “akan gerah nantinya” begitulah kata kakak kelasku. akupun menuruti perkataannya, kata-kata dari orang yang pernah berkeliling menggunakan sepeda hingga rusia bagaimana bisa aku hiraukan. Mengayuh bersisian dengan kendaraan lain, terkadang beberapa mata memandang kearah kami dan kami saling mengawasi satu sama lain. Entah mengapa, ada sedikit rasa bangga dalam perjalananku kali ini.

Tanjakan Pertama

Awal perjalanan terasa sangat menyenangkan bagiku, ditemani hujan aku tetap bersemangat mengayuh sepeda. Teman-temanku yang lainpun sepertinya merasakan hal yang sama denganku. Entah kenapa rasa lelah tak kunjung kurasakan. Padahal kupikir aku akan sangat cepat merasakan lelah dan akan sering beristirahat. Tak lama kemudian hujanpun berhenti. Ternyata dari sinilah perjalanan yang sesungguhnya dimulai. Matahari mulai memancarkan sinarnya. Matahari disore hari seharusnya tidak begitu panas. Keringat mulai mengucur dari seluruh tubuhku. Pakaian yang tadinya basah lambat laun menjadi kering. 

atas ke bawah : ike - bucil

Seharusnya aku membawa syal atau topi yang cukup lebar untuk melindungi wajahku dari panasnya sinar matahari. Saat perjalanan sebelumnya terik matahari tidak begitu terasa, karena kami melintasi daerah dengan pohon-pohon yang rimbun disisi kiri dan kanan jalan. Perjalanan ditengah kota dengan jalanan aspal, rumah beton berjejer tidak terlalu rapi dikiri dan kanan jalan, dan matahari yang semakin terik membuat perjalanan ini semakin sulit untuk dilalui. Ramainya kendaraan bermotor yang berlalu lalang menambah kepenatan dengan asap knalpot mereka yang rasanya seperti memenuhi seluruh ruang yang ada disekitarku. Bahkan hujanpun tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa mereka akan berbaik hati kepada kami untuk turun kembali.

Sepeda yang ku kayuh terasa semakin berat dan lajunya melambat, karna jalanan yang dilalui semakin menanjak. Tidak lama aku dapat bertahan untuk tetap mengayuh sepeda di tanjakan itu. Rasa lelah terasa sangat cepat menghampiri. Mau tidak mau aku turun dari sepeda dan mulai mendorong melewati tanjakan yang cukup panjang, karna memang aku sudah tidak mampu untuk mengayuh. Rasa lelah dan penat yang kurasakan membuatku goyah dan ragu untuk terus melanjutkan perjalanan ini. Perasaan ingin pulang dengan menggunakan kendaraan yang ada disekitarku semakin besar atau bahkan berleha-leha dibawah pohon yang ditemukan dipinggir jalan sangat menggoda. Ingin rasanya memutar balik arah stang sepeda yang kubawa untuk kembali pulang. “sudah setengah jalan, sebentar lagi sampai. Sayang sekali jika harus kembali”. Pikiran itu tiba2 terbersit dalam otakku, dan dengan cepat mengurungkan niatku untuk kembali. Setelah tanjakan yang cukup panjang, akhirnya aku bisa mengayuh sepedaku kembali untuk melanjutkan perjalanan.

Istirahat Pertama

Rasa lapar cepat terasa, aku lupa apakah aku sudah makan siang atau belum. Ternyata teman2ku juga merasakan hal yang sama denganku. tenaga yang habis untuk mengayuh sepeda cukup besar, sehingga kami cepat merasakan lapar. Karna melewati rumah penduduk yang tidak begitu ramai dilalui banyak orang, kami tidak menemukan rumah makan sama sekali yang bisa kami singgahi untuk mengisi perut. Kami melewati toko yang menjual sayuran dan bahan mentah lainnya. Dan kami mampir sebentar untuk membeli bahan yang bisa kami masak nantinya. Tak berapa lama kemudian kami menemukan warung yang menjual gado2 dan lotek. Tidak ada pilihan lain, akhirnya kami berhenti dan beristirahat sejenak untuk mengisi perut yang kosong sedari tadi. Entah kenapa lotek yang ku pesan rasanya sangat nikmat, mungkin karna lapar dan lelah. Setelah kenyang dan stamina kembali pulih kamipun melanjutkan perjalanan.

Jika pada saat tanjakan aku menempati posisi terakhir, tidak pada saat melewati turunan. Sangat menyenangkan rasanya saat sepeda melaju kencang di turunan yang cukup panjang. Perasaan bebas, entah mengapa ada senyum yang lebar dan lepas saat semilir angin kencang menerpa wajahku, dan mataku menatap senang pada jalanan yang terus menurun. Rumah-rumah dikiri dan kanan jalan yang dengan cepat kutinggalkan seperti tersenyum dan melambaikan tangan ke arahku. Sedikit lebay agaknya aku membayangkannya. “tapi ingatlah, jika ada turunan maka akan ada tanjakan yang panjang yang akan kita lalui, karna tujuan kita ketempat yang lebih tinggi”, ucap salah satu temanku saat aku mengharapkan menemui lebih banyak turunan lagi. Benar saja, tak lama kemudian kami menemui tanjakan panjang yang terasa tak berujung, seakan-akan tidak ada habisnya. Jika tadinya aku menempati posisi pertama saat turunan, satu persatu teman-temanku pun mendahuluiku, karna aku tidak lagi mengayuh sepedaku, tetapi mendorongnya seperti sebelumnya saat melalui tanjakan.

Tanjakan kali ini jauh lebih panjang dan lebih terjal, tenggorokanku selalu berteriak meminta untuk dibasahi, dan keringat terus mengalir membasahi kaos yang ku pakai, padahal matahari sudah mulai beranjak turun. Saat teman2ku melewatiku, aku meminta kepada mereka agar berhenti untuk beristirahat saat menemukan dataran. Cukup lama aku mendorong, akhirnya aku menemukan tanah merah yang luas. Dan teman2ku sudah duduk dengan rapi dipinggiran tanah yang menghadap pada hamparan sawah dan rumah2 yang letaknya jauh dibawah. Melihat mereka menikmati itu semua, aku tak mau ketinggalan. akupun mendorong sepedaku lebih cepat agar segera bergabung dengan mereka. Pantas saja tanjakan yang kami lalui tak kunjung habis, ternyata kami sudah berada ditempat yang cukup tinggi sehingga dapat memandangi hamparan rumah dan desa yang cukup luas. Bersebrangan dengan pemandangan itu, terlihat gunung Gede-Pangrango dengan gagahnya menjulang. Pemandangan yang sangat indah dan akan sangat  menyenangkan bila bisa berlama-lama ditempat ini. Tapi itu tidak mungkin, karna bukan disinilah tujuan kami untuk bermalam dan waktu kami akan semakin panjang bila tidak sesuai target.

Pantas saja saat aku mendorong sepeda tadi banyak muda mudi yang mengendari motor naik dan turun, ternyata mereka menuju tempat ini untuk menghabiskan sore dengan memandangi pemandangan lanscape yang indah dan semilir angin. Sepertinya tidak banyak orang yang tahu tentang indahnya pemandangan dari tempat ini, dan juga tidak ada sama sekali warung atau pedangan yang menjajakan setidaknya sedikit makanan.

Gunung Gede Pangrango
Istirahat sejenang memandangi pemandangan kota bogor

Puas beristirahat dan tidak lupa mengambil beberapa foto kamipun melanjutkan perjalanan karna target yang harus dicapai masih jauh, sementara hari mulai gelap. Akupun mulai mengayuh sepeda, tetapi itu tidak berlangsung lama. Karna jalanan masih saja menanjak, selain itu jalanan yang mulai kami lewati tidak semulus yang sebelumnya. Disaat sudah menemui dataran, aku kembali mengayuh sepedaku. Dengan riangnya aku mengayuh sepeda dan mendahului beberapa temanku, berada dibelakang salah satu seniorku, Ka Embang. Haripun mulai gelap, Ka Embang memerintahkan untuk berhenti sebentar dan menunggu yang lainnya. Karna hari mulai gelap, kita harus jalan beriringan. Berhenti dan duduk di teras salah satu rumah yang kami temui sambil menunggu yang lainnya, aku pun mengeluarkan headlamp sebagai penerangan untuk perjalanan selanjutnya.

Menunggu magrib berlalu, setelah semua berkumpul kami menghabiskan cemilan yang tadi kami beli di jalan. Tanpa disadari sepertinya kami cukup membuat gaduh, dan membuat si pemilik rumah menyadari kehadiran kami. Pemilik rumah sangat baik hati, kami disuguhi teh hangat. Tanpa sungkan kami menikmati suguhan tersebut, bahkan dengan sopannya adik kelasku minta tambah lagi.

Menuntun Bike Tour

Magrib telah berlalu, headlamp sudah terpasang rapih di kepala, tas sudah kembali bersandar di punggung masing-masing, kami siap melanjutkan perjalanan. Mengayuh sepeda sepertinya bukan pilihan yang tepat dimalam yang gelap, jalanan yang tidak rata, dan penerangan yang seadanya. Akhirnya kami semua memutuskan untuk mendorong sepeda, dan tetap beriringan. “menuntun bike tour” teriak temanku. Hahaha... kata-kata yang tepat menurutku melihat kondisi kami saat ini.

Sempat menjadi pusat perhatian orang-orang dikampung, kami terus menuntun sepeda kami, hingga tiba disebuah bengkel yang sepertinya ditinggalkan oleh pemiliknya saat malam hari. Beristirahat disini, kamipun sempat berpikir untuk bermalam disini, karena tujuan kami untuk hari ini masih cukup jauh dan jalanannya sepi serta jelek. “jika ada truk yang lewat dan kosong kita mungkin bisa menumpang”, celetuk kakak kelasku yang sudah mengetahui kondisi tempat yang kami tuju. Benar saja, tidak lama kemudian ada sebuah truk yang lewat, dan adik kelasku dengan sigapnya mengangkat tangannya dan berteriak meminta tolong agar kami bisa menumpang. Kejadian yang sangat lucu melihat tingkahnya saat itu. Kebetulan truk tersebut kosong dan searah dengan tujuan kami, dan kami diizinkan untuk menumpang. Kakak kelasku sempat kesal, karna dia baru saja melihat-lihat tempat dan memutuskan untuk bermalam disana karna ada saung kosong bersih  yang bisa kami tempati dan juga air bersih untuk bersih-bersih dan lainnya.

Satu persatu sepeda dimasukkan kedalam bak truk, 2 orang duduk di depan menemani bapak yang baik hati. Ternyata tujuan kami memang masih cukup jauh, jalanannya pun jelek dan gelap serta tidak ada rumah sama sekali. Akhirnya truk berhenti, kamipun menurunkan sepeda satu persatu dan menuntunnya menuju tempat kami bermalam, serta tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada bapak yang baik hati.

Shelter Kebun Teh Cianten, tidak seperti saung karna atapnya dari seng, dan tidak ada penutup sama sekali dipinggirannya, sepertinya tempat ini digunakan oleh petani untuk beristirahat dan mengumpulkan hasil petikan daun teh. 1 tenda ukuran 4 orang dan 1 tenda kecil untuk 2 orang sudah berdiri. Masing-masing dari kami terutama yang perempuan mengganti pakaian yang kotor penuh dengan keringat dengan pakaian yang baru dan nyaman untuk tidur.

Walaupun makanan yang dimasak seadanya, 2 nesting nasi dan semangkuk bakso dan sayur-sayuran terasa sangat nikmat. Ditambah dengan orek kentang campur kacang oleh-oleh dari ibu temanku yang sebelum berangkat sepedahan sempat pulang kerumahnya di ciamis menambah makanan semakin nikmat. Setelah perut kenyang, kami mencoba untuk menyalakan api, tapi entah kenapa rasanya cukup sulit malam itu menyalakan api. Dan akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat, tidak lupa mengecek sepeda dan mengamankannya kamipun masuk ke dalam tenda dan tidur dengan lelap.


“perjalanan selanjutnya pasti akan lebih menantang” pikirku sebelum menutup mata untuk masuk ke dalam alam mimpi.

Komentar

Postingan Populer